Rabu, 19 Oktober 2016

Sengketa Pertanahan Di Indonesia


        A.  Pendahulu

      Era Reformasi yang ditandai dengan semangat demokratisasi dan transparansi disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, membuktikan keberanian masyarakat untuk menuntut penyelesaian atas apa yang dirasakannya sebai suatu akibat ketidakadilan, dan hal itu juga yang menyangkut masalah pertanahan, telebih lagi bila masalah ini juga ditunjang dengan semakin pentingnya arti tanah bagi penduduk. Permasalah tanah sekarang sudah merambah kepada persoalan sosial yang kompleks yang memerlukan pemecahan dengan pendekatan secara komperhensif.

    Maka dari itu disini penulis ingin menerangkan apa itu sengketa pertanah menurut para ahli, landasan hukum dalam penyelesaian sengketa pertanahan, dan penyelesaian sengketa tanah melalui bebagai cara. Di sini penulis banyak mengutip tulisan dari buku "KAPITA SELEKTA HUKUM AGRARIA" yang ditulis oleh Dr. Darwin Ginting, S.H, M.H.,Sp.N.

    B. Sengketa Pertanahan

    Menurut Badan Pertanahan Nasional bahwa sengketa tanah adalah perbedaan pendapat mengenai:
       a. Keabsahan suatu hak,
       b. Pemberian hak atas tanah,dan 
       c. Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya antara
          pihak-pihak  yang berkepentingan maupun antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan
          instansi BPN.
    Dilihat dari pasal 1 butir (1) Permenag/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan,
     Sedangkan berdasarkan petunjuk teknis sengketa konflik dan perkara BPN RI Nomor 34 tahun 2007, sengketa adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum (privat atau publik) mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau penguasaan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, atau status keputusan tata usaha negara menyangkut penguasaan, pemilikan, penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.
    Rachmadi Usman, Sengketa Petanahan adalah perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang merasa atau dirugikan pihak-pihak tersebut untuk penggunaan dan penguasaan hak atas tanahnya yang diselesaikan oleh musyawarah atau oleh pengadilan.
     Timbulnya sengketa tanah adalah bermula dari pengaduan suatu puhak yang berisi keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya, dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara hukum, baik itu ditempuh melalui jalan administrasi, peradata maupun pidana,

    C. Permasalahan Tanah Yang Menyebebkan Sengketa Pertanahan

    Menurut Darwin Ginting yang ditulis dalam bukunya "Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Bidang Agrabisnis" Permasalahan tanah yang menyebabkan sengketan pertanahan adalah Reformasi agraria pada saat krisis ekonomi tahun 1997-1998, karena pada saat itu akses masyarakat terhadap tanah bisa dikatakan sudah tersumbat, akibat pelaksanaan pembangunan di masa Orde Baru semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi,hal ini salah satu pemicu keresahan masyarakat yang pada akhirnya juga mendorong timbulnya konflik pertanahan.
   Sunyoto Usman yang disampaikan dalam makalahnya pada Seminar dan Loka Karya Rekognisi sebagai Penyelesaian Konflik Pertanahan "Rekognisi Sebagai Alternatif Penyelesaian Konflkik Pertanahan Tinjauan Sosiologi Lingkungan". Menggambarkan terjadinnya konflik pertanahan sebagai akibat dari dampak kegiatan industri yang berkaitan erat dengan bentuk hubungan sosial yang terjalin di antara para Stakeholder :Masyarakat, pemerintah, pihak penguasa industri, serta instansi-instansi lain (termasuk lembaga swadaya masyarakat dan lembaga keagaam) yang aktivitasnya terkait langsung dengan kegiatannya.
    Sedangkan Muchlis dalam Workshop strategi penanganan dan penyelesaian sengketa pertanahan, BPN Batam menyatakan, sumber sengketatanah yang terjadi secara umum dapat dibagi menjadi 5 kelompok :
     1. Sengketa disebabkan oleh kebijakan pada masa Orde Baru.
     2. Tumpang Tindih Peraturan Perundang-Undangan tentang Sumber daya Agraria
     3. Timpang tindih Penggunaan Tanag
     4. Kwalitas suber daya manusia dari aparat pelaksanaan peraturan sumber daya agraria
     5. Berubahnya pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah
     Selanjutnnya, Juni Thamrin, mengemukakan sumber pemicu terjadinya kasus-kasus konflik tanah yang selanjutnya muncul sebagai bentuk sengketa di berbagai wilayah di Indonesia dapat diidentifikasikan dalam beberapa kategori sebagai berikut.
    1. Masalah-masalah yang berkaitan dengan tanag perkebunan antara lain
       a. proses ganti rugi yang belum tuntas disertai tindakan intimidasi;
       b. pengambilalihan tanah garapan rakyat yang telah dikelola lebih dari 20 tahun untuk lahan
           perkebunan;
       c. perbedaan luas hasil ukur dengan HGU yang dimiliki perkebunan;
       d. perkebunan berada di atas tanah ulayat atau marga atau tanah warisan,
    2. Masalah permohonan hak atas tanah yang berkaitan dengan klaim kawasan hutan, terutama
        yang secara fisik sudah tidak berfungsi sebagai hutan lagi,
    3. Masalah sengketa atas keputusan pengadilan antara antara lain terdiri dari;
        a. tidak diterimanya keputusan pengadilan oleh pihak yang bersengketa;
        b. keputusan pengadilan yang tidak dapat dieksekusi karena status penguasaan dan
            pemiliknya sudah berubah;
        c. keputusan pengadilan menimbulkan akibat hukum yang berbeda terhadap status obyek
            perkara yang sama;
        d. adanya permohonan tertentu berdasarkan keputusan pengadilan yang belum mempunyai
            kekuatan hukum tetap.
     4. Masalah sengketa batas dan pendaftaran tanah yang sama, tumpang tindih sertifikat di atas
         tanah yang sama,
     5. Masalah Recklaiming dan pendudukan kembali tanah yang telah dibebaskan oleh
         pengembang perumahan karena ganti rugi yang dimanipulasi,
     6. Masalah petanahan atas klaim tanah ulayat/adat,
     7. Masalah yang berkaitan dengan mekanisme tukar menukar tanah, terutama tanah bengkok
         yang menjadi tanah keluarahan.
     Dari berbagai pendapat tentang akar permasalahan tersebut di atas, maka secara komperhensif pada hakikatnya konflik pertanahan yang akhirnya menjadi sengketa tanah terhadi di Indonesia disebabkan oleh:
       1. Kurang tertibnya administrasi pertanahan masa lalu,
       2. Ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah,
       3. Sistem publikasi pendaftaran tanah yang negatif,
       4. Meningkatnya kebutuhan tanah, sehingga harga tanah tidak dapat dikendalikan karena
           ulah mafia tanah,
       5. Peraturan-perundangan saling tumpang tindih, baik secara horizontal maupun vertikal,
           demikian juga subtansi yang diatur,
       6. Masih banyaknya terdapat tanah terlantar,
       7. Kurang cermat Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam menjalankan tugasnya,
       8. Belum terdapat persamaan persepsi atau interpretasi para penegak hukum khususnya
           hakim terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan,
       9. Para penegak hukum belum mempunyai komitmen untuk melaksanakan peraturan
           Perundang-undangan secara konsekuen dan konsisten.
       Dari pemahaman terhadap berbagai akar permasalah tersebut dapat kita jadikan titik tolak dalam upaya penyelesaian sengketa pertanahan yang timbul.

      D. Landasan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan

      Adapun landasan hukum dalam mekanisme penyelesaian sengketa pertanahan pada umumnya diatur dalam hukum acara (hukum formal) yaitu Herziene Indonesische Reglement (H.I.R), maka bagi para pihak yang bersengketa perlu memperhatikan dasar hukum yang menjadi sumber pegangan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa pertanahan, asas-asas dan ketentuan hukum materilnya, yaitu hukum tanah nasional yaitu UU No 5 Tahujn 1960 tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Arie S. Hutagalung menyebutkan :
       1. Sumber yang pertama dan utama adalah Pancasila.
       2. UUPA merupakan pelaksanaan langsung dan UUD 1945 tersebut khususnya pasal
           33 ayat (3).
       3. Hukum tanah nasional disusun berdasarkan hukum adat mengenai tanah dan hukum tanah
          nasional adalah hukum adat (konsiderans UUPA jo Pasal 5 UUPA) yang berarti
          hukum adat mengenai tanah merupakan sumber utama pembangunan hukum
          tanah nasional dan berfungsi pula sebagai pelengkap hukum tanah nasional
          (khususnya norma-normanya).
     Adapun Asas-asas yang harus diperhatikan dalam menyelesaikan sengketa tanah khususnya adalah asas penguasaan dan pemilikan tanah.
      1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus
          dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah nasional.
     2. Penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya, tidak diberikan, bahkan
         diancam dengan sanksi pidana (UU No 51/Prp Tahun 1960 tentang larangan pemakaian
         tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya,
     3. Penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh hukum
         tanah nasional dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari pihak manapun termasuk
         dari pemerintah sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya.
     4. Hukum menyediakan berbagai sarana hukum untuk menanggulangi gangguan yang ada.
     5. Dalam keadaan normal, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun
        (termasuk proyek-proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang telah menjadi hak
        seseorang, haruslah melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama.
     6. berkaitan dengan hal di atas, dalam keadaan normal, untuk memperoleh tanah yang
         diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun.
     7. Dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk
         menyelenggarakan kepentingan umum, yang tidak mungkin menggunakan tanah lain,
         dapat dilakukan pengambilanya secara paksa.
     8. Dalam hal perolehan atau pengambilan tanah, baik atas dasar kesepakatan bersama
         maupun melalui pencabutan hak, pihak pemegang hak atas tanah berhak mendapatkan
         imbalan ganti kerugian.
     9. Dalam berntuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut haruslah sedemikian rupa
        hingga bekas yang pemilik hak atas tanah tidak mengalami kemunduran secara sosial
        maupun secara ekonomi. Ini merupakan suatu asas universal, yang dinyatakan secara
        tegas dalam penjelasan umum PP No 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti
        Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan pencabutan hak-hak atas tanah
        dan benda-benda lain yang ada di atasnya.
    TAP MPR Nomor XI/MPR/2001 telah memberikan arahan perlunya penaganan masalah pertanahan dengan menyelesaikan sengketa-sengketa pertanahan yang berkembang dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini segaligus dapat mengispirasi sengketa di masa mendatang guna menjamin terlaksanakan penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksus dengan pasal 4 ketetapan tersebut.

         E. Penyelesaian Sengketa Tanah

       Masalah tanah dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya. hal ini dikarenakan, persoalan tanah tidak sedikit melibatkan beberapa instansi yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah/sengketa yang diajukan ke pengadilan.  Untuk itu, persamaan pemahaman terhadap konsep diperlukan agar terdapat kesamaan persepsi yang akan menghasilkan keputusan yang solid dan adil bagi pihak-pihak yang meminta keadilan.
       Sengketa tanah kemudian masuk pada persoalan hukum pidana, yakni persengketaan tanah yang didahului, disertakan dan dilanjuti dengan pelanggaran hukum pidana (tindak pidana)
     Adapun  upaya penegakan hukum pidana dalam sengketa pertanahan adalah dalam hal tidak melakukan kebijakan kriminalisasi secara khusus sehingga menjadi tindak pidana pertanahan, melainkan sebagai tindak pidana di bidang hukum administrasi sebagai upaya untuk mendorong atau memaksa ditaatinyahukum administrasi di bidang pertanahan.
    Oleh sebab itu, penggunaan hukum pidana dan sanksi dipidana ditempatkan sebagai senjata pamungkas (ultimum remeduim), yakni hukum dan sanksi pidana baru dipergunakan apabila penyelesaian melalui sarana hukum administrasi tidak dapat/mampu untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum administrasi pertanahan yang ditandai dengan banyaknya kasus mengedepankan penyelesaian menurut hukum administrasi dan sanksi hukum administrasi.

       1. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Jalur Pengadilan

     Penyelesaian sengketa pertanahan melalui jalur pengadilan sering memakan waktu yang lama. Lamanya berperkara ini banyak disebabkan karena kemungkinan berperkara sekurang-kurangnya 3 sampai 4 tahap.
       Pertama, pada tingkat pengadilan negri, yang akan berlangsung relatif cepat sekarang ini, karena ada petunjuk Mahkamah Agung bahwa sedapatnya harus dibatasi berperkara sampai kurang lebih 6(enam) bulan. Namun dalam praktik bisa berbulan-bulan, bahkan hingga bertahun-tahun.
    Kedua,  pada tingkat pengadilan tinggi, seperti halnya dalam pengadilan negeri pada tingkat pengadilan tinggi ini pun perkara sering berlangsung lama. di samping itu, pemeriksaan perkara melalui pengadilan seringkali dihantui adanya anggapan bahwa pengadilan lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri saya lebih dikenal dengan sebutan mafia peradilan.
    Ketiga, pada tingkat kasasi, pada tingkat ini sering terjadi keterlambatan dalam pemeriksaan. Sebagaimana diungkapkan oleh Sudargo Gautama, bahwa untuk dapat diperiksa,harus menunggu bertahun-tahun lamanya, biasanya tidak kurang 3 tahun sebelum akhirnya diputus dalam kasasi. Hal ini disebabkan karena antrian pemeriksaan dalam acara kasasi yang lama sekali yang disebabkan banyaknya perkara kasasi yang ditangani.
     Keempat, pada peninjauan kembali. Pada tingkat ini, waktu yang diperlukan bisa mencapai 8-9 tahun sebelum perkara ini tiba pada taraf dapat dilaksanakan (eksekusi) oleh pengadilan negeri.
      Selama ini, putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan belum bisa menyelesaikan persoalan apabila putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan, oleh karena itu, putusan pengadilan harus mudah dilaksanakan (dieksekusi).

    2. Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan

    Ssecara Normatif, penyelesaian sengketa dalam sistem hukum di Indonesia ada dua macam betuk, yakni  penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan dan jalir luar lembaga pengadilan di atur berdasarkan UU No 30 Tahun 1999.
   Adapun manfaat serta efektivitas penyelesaian sengketa di luar Lembaga Pengadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa, yaitu:
   1. Penyelesaian di luar Lembaga Pengadilan lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat
       substantif dari pada yang bersifat teknis yuridis;
   2. Penyelesaian sengketa di luar Lembaga Pengadilan benar-benar memuaskan kedua
       belah pihak
   3. Hal-hal yang tersirat atau yang tependam dapat diselesaikan secara tuntas;
   4. Memberikan peluang dan memungkinkan pihak-pihak lain, untuk ikut terkena
       dalam penyelesaian sengketa tersebut;
  5.  Proses penyelesaian sengketa bersifar luwes dan tidak kaku atau fleksibel;
  6.  Model penyelesaian sengketa ditentukan dari sifat sengketa atas dasar pilihan
       secara sukarela;
  7. Para pihak yang menyelesaikan sengketa dapar lebih berperan dalam penyelesaian
      sengketa.
  Secara Teoritis dikenal bentuk-bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, termasuk yang diatur dalam Undang-undang No 30 tahun 1999, yaitu;

  1, Musyawarah (Negotiation)
    Negosiasi merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang banyak digunakan oleh berbagai pihak dalam menyelesaikan permasalahan atau pun dalam hal ini sengketa di antara mereka,
    Menurut Garry Goodpaster negosiasi adalah salah satu proses untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beraneka ragam, dapat lebut dan bernuansa, sebagaimana manusa itu sendiri.
   Menurut Leo Kanowitz, agar negosiasi berjalan sukses dan potimal, ada beberapa kekuatan (power) yang perlu diperhatikan oleh para pihak negosiator
      a). Kekuatan dari pengetahuan dan keterampilan;
      b). Kekuatan dari hubungan yang baik;
      c). Kekuatan dari alterntif yang baik dalam negosiasi;
      d). Kekuatan untuk mencapai penyelesaian yang elegan;
      e). Kekuaran legitimasi;
      f). Kekuatan komitmen;

  2. Konsiliasi (consiliation)
     Konsiliasi sebagai salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar Lembaga Pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai permufakatan atau perdamaian di luar Pengadila. Konsiliasi berfungsi untuk mencegah dilaksanakan proses litigasi, juga dapat digunakan dalam setiap tingkat, peradilan yang sedang berjalan, baik di dalam mauupun di luar pengadilan, dengan pengecualian hal-hal tau sengketa di mana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempuanyai kekuatan hukum tetap,
  Menurut Oppenhein, konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan/menjelaskan fakta-fakta dan biasanya setelah mendengarkan para pihak dan mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan, membuat usulan-usulan untuk suatu pelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat.
   Pada dasarnya konsiliasi memiliki karakteristik yang hampir sama dengan mediasi, hanya saja peran konsiliaror lebih aktif dari oada mediator, yaitu :
    a). Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan secara
         komperhensif.
    b). Konsiliator adalah pihak ketiga yang netral yang terlibat dan diterima oleh
         para pihak yang bersengketa.
    c). Konsiliator bersifat aktif dan memiliki kewenangan mengusulkan
         pendapat dan menyusun syarat-syarat kesepakatan diantara para pihak.
    d). Konsiliator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan
         berlangsung.
    e). Tujuan konsiliasi adalah untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak
         yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.

  3. Mediasi (Mediation)
     Christopher W. Moore mengemukakan, bahwa mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa oleh pihak ketiga yang bisa diterima oleh pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari keduah belah pihakdan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan.
   Pada prinsipnya mediasi adalah cara menyelesaikan sengketa dari luar pengadilan dengan melibatkkan pikah ketiga yang bersifat netral (nonintervensi) dan tidak berpihak (impartial) serta diterima hadirnya oleh pihak-pihak yang bersengketa.
       Pada dasarnya penyelesaian sengketa melalui mediasi ini memiliki karakteristik atau unsur-unsur sebagai berikut :
     a) Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan perundingan
     b) Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak bersengketa dalam perundingan
     c) Mediator bertugas membatu para pihak bersengketa untuk mencari penyelesaian
     d) Mediator bersifat pasif dan hanya berfungsi sebagai fasilitator dan
         penyambung lidah dari para pihak yang besengketa, sehingga tidak
         terlibat dalam menyusun dan merumuskan rancangan atau proposal kesepakatan
     e) Mediator tidak mempunya kewenangan untuk membuat keputusan
         selama perundingan berlangsung
     f) Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat
         diterima oleh pihak-pihak guna mengakhiri sengketa
 
   Komisi Nasional HAM pernah menggunakan cara-cara mediasi ini dalam beberapa kasus pertanahan. Adapun prosedur yang harus ditempuh dalam mediasi sebagaimana dikemukakan oleh Asor dan Chinkin secara garis besar meliput empat tahap sebagai barikut :
     a) Pengantar yang berisi penjelasan mediator tentang tatacara yang harus
         iikuti dan peran komunikasi yang terbuka dengan asas saling memengaruhi;
     b) Memahami isu dalam sengketa dengan cara memberikan kesempatan kepada
         masing-masing pihak mengemukakan pendapatnya tentang hal disengketakan;
     c) Mengidentifikasi isu dan menjajaki alternatif untuk mencari kesepakatan, dan
     d) mengevaluasi aslternatif yang ada dan menentukan kesepakatan disertai rincian
         untuk pelaksanaanya.
     
   Dalam kaitannya dengan mediasi ini Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 1999. Arbitrase menyatakan bahwa dalam beda pendapat atau sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebbih penasihat ahli maupun seorang mediator.
  BPN telah menerbitkan petunjuk teknis Nomor 05/JUKNIS/D.V/207 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi. Mediator adalah orang atau pejabat yang ditunjuk jajaran BPN RI  yang disepakati oleh pihak pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan masalahnya.
     Diantara beberapa kelemahan dalam melakukan mediasi, yaitu :
    a) Mekanisme eksekusi yang sulit, seandainya salah satu pihak tidak bersedia melaksanakan
        kesepakatan yang ada, maka lain tidak dapat memaksa agar pihak lawan untuk
        melaksanakan, sehingga cara yang dapat dilakukan agar para pihak dapat melaksanakan
        putusan pada akhirnya akan memakan waktu yang cukup lama.
   b) Sangat digantungkan dari itikad baik dari para pihak untuk menyelesaikan masalahnya.
       ini berarti para pihak harus benar-benar mau menerima hasil dari kesepakatan
       yang diperoleh dengan mediasi.
   c) Jika lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan adanya fakta-fakta
       hukum yang penting yang tidak disampaikan kepada mediator, sehingga keputusan
       menjadi bias.

   4. Arbitase
    Dalam UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan bahwa "ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara di luar pengadilan negara melalui perdamaian atau arbitrase." dengan demikian penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbitrase hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh eksequatur atau perintah untuk menjalankan dari pengadilan.
    Dalam literatur, dijumapai beberapa batasan arbitrase yang dikemukakan oleh para ahli hukum, di antaranya adalah Frank Elkoury dan Edna Ekoury dalam bukunya How Arbitration Work disebutkan bahwa, arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau sederhana yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral yang dipilih oleh mereka dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat. Sedangkan Subekti, mentebutkan bahwa arbitrase adalah penyelesaian suatu sengketa oleh seseorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. Menurut Priyatna Abdurasid, bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
   Bedasarkan pengertian-pengertian di atas, pada dasarnya dapat disimpulkan mengenai unsur-unsur dari arbitrase, sebagai berikut :
  a) Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan.
  b) Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak.
  c) Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi.
  d) Dengan melibatkan pihak ketiga ( Arbiter atau wasit) yang berwenang
      mengambil keputusan
  e) Sifat putusannya adalah final dan mengikat.

    Sehubungan denagn pemakaian bentuk arbitrase ini, Maria S.W. Sumardjono menerangkan bahwa untuk melaksanakan arbitrase pertanahan ini, menurutnya diperlukan pemahaman tentang peta permasalahan sebagai latar belakang dan prinsip dasar arbitrase untuk menjawab apakah perlunya atau belum diperlukannya kehadiran arbitrase pertanahan sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa pertanahan diluar pengadilan

   Berkaitan dengan fungsi BPN dalam hal penyelesaian sengketa pertanahan, sepertinya keberadaan sistem pengelolaan pengaduan (SSP) sebagai prasyarat terwujudnya sistem penyelesaian sengketa yang efektif sangat dibutuhkan, SSP mensyaratkan:
   a) Definisi tentang subjek pengaduan
   b) Penegasan bahwa pengaduan merupakan hak setiap orang dan didasarkan pada asas
       praduga tak bersalah.
   c) Tersedianya tatacara penaggapan pengaduan.
   d) Mekanisme verifikasi yang bersifat transparan dan akuntabel.
   e) Adanya batas waktu penyelesaian pengaduan.
   f) Dijaminnya akses publik terhadap informasi tentang proses dan hasil
       kerja pengelolaan pengaduan
   g) Kewajiban instansi penerima pengaduan untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa
       melalui Alternative Dispute Resolition (ADR) apabila hasilnya layak untuk ditindaklanjuti.

   Keempat cara penyelesaian sengketa, yaitu musyawarah, konsiliasi, mediasi dan arbitrase pertanahan sebagai malah telah di uraikan di atas yang lebih penting adalah peran negara untuk menjadi wasit yang tidak memihak dalam penyelesaian sengketa. Peran Negara atau pemerintah adalah untuk tidak memihak antara pihak-pihak yang bersengketa dalam masyarakat, serta menyediakan suatu sistem yudisial yang menjamiin keadilan perlu diwujudkan sebagai salah satu pelaksanaan tugas utama Negara.



Daftar Pustaka :
  • Dr. Darwin Ginting, S.H, M.H.,Sp.N., Kapita Selekta Hukum Agraria, Unpad Press, Tahun 2012
  • Darwin Ginting, Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Bidang Agribisnis, Gahlia Indonesia, Tahun 2010
  • Darwin Ginting, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Bagi Penanaman Modal Bidang Agrobisnis di Indonesia, Unpad Press, Tahun 2009
  • Sutaryono, Ssengketa Pernahan Sebuah Kaca Benggala, Widya Bhumi, Yogyakarta, 2002
  • Juni Thamrin, Gagasan Menuju Pada Pengelolaan Sumber Daya Agraria Yang Partisipatif Berkelanjutan, Jurnal Analisis Sosial, Sumber Daya Agraria Dimensi Pengelolaan dan Tantangan Kelembagaan, Vol 6
  • Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional, Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Media Abadi Tahun 2005
  • Sudargo Gautama, Undang-Undang Arbitrase baru 1999, Citra Aditya Bakti, 1999
  • Gunawan Wijaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa,RajaGrafindo Persada, 2002
  • Garry Goodpaster, Negosiasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, Elips Project, 1993
  • Huala Adolf, Masalah-masalah Hukum dalam Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, 1994

Sumber Lain :
  • Mudzakkir, Makalah disampaikan pada Workshop "Strategi Penaganan dan Penyelesaian Sengketa Pertanahan" yang diselenggarakan BPN RI, Batam,
  • Muchsin, Aspek Hukum Sengketa Hak Atas Tanah, Workshop Strategi Penaganan dan Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional Batam


1 komentar:

  1. The best video game of all time - YouTube, CTV
    The best video game videodl of all time There are numerous movies and anime on YouTube, but หารายได้เสริม The youtube downloader Best is the greatest all-time best one.

    BalasHapus